Jika alam semesta adalah suatu
hamparan yang menyebar ke segala arah—seperti halnya cerita yang mengatakan
bahwa ledakan besar itu, Big Bang, menyebar ke segala arah sejak saat itu
sampai sekarang—lalu bagaimana nasibnya dengan waktu yang berjalan linear dan
searah: selalu ke depan? Mungkin ini ada kaitannya dengan matematika
heliosentris ala Copernicus, yang menjadikan perhitungan waktu semakin mudah.
Selain itu, saya pernah mendengar
cerita, bahwa angka nol (0) sendiri, ditemukan dengan proses yang cukup rumit,
setelah lebih dulu ditemukan angka 1 sampai 9. Itu artinya, dalam proses apa
pun, semua pada fitrahnya selalu dipersepsikan linear dan searah. Apakah
begitu? Dengan anggapan demikian, ke mana pun penyebaran arah tersebut akan
selalu dianggap ke depan apabila kita tetap kokoh berdiri di pusatnya. Seperti
lampu yang tetap di tempatnya dan memandangi cahayanya sendiri menyebar ke
depan—meskipun depan itu pun ke semua arah, bukan?
Dalam suatu video di Youtube—yang
kebetulan saya mengunduhnya juga—Sabrang alias Noe Letto menyampaikan realitas
alam semesta, yang kira-kira dapat saya pahami sebagai: alam semesta berjalan
tidak linear, tetapi logaritmis. Dalam rentang jarak antara 1 sampai 9, dalam
pandangan linear, titik tengahnya ada pada jarak ke-5 (4 ke kanan, 4 ke kiri).
Namun kenyataannya bukan begitu, kata Sabrang. Menurutnya, dalam rentang jarak
antara 1 sampai 9, titik tengahnya ada pada jarak ke 3 (1 dikali 3 itu 3, 3
dikali 3 itu 9). Seandainya diteruskan, misal rentang jarak antara 1 sampai 81,
maka titik tengahnya ada pada jarak ke 9 (1 dikali 9 itu 9, 9 dikali 9 itu 81).
Begitu seterusnya, yang pada
akhirnya, saya menyimpulkan bahwa segala sesuatu di alam semesta itu selalu
menjadi titik pusat dalam rentang spektrum jaring-jaring realitasnya sendiri.
Dan sesuatu itu otomatis pula menjadi bagian tepi dari pusat lain di realitas
yang lainnya lagi.
Serupa itu pula hubungan manusia
dengan alam semesta. Manusia adalah pusat dari rentang jarak antara benda
terkecil di alam semesta yang mampu dilihat sampai dengan benda terbesar di
alam semesta yang mampu dilihat. Manusia ada di titik tengah realitas kosmis
tersebut.
Itu soal alam semesta yang menyebar
ke segala arah dan logaritmis, bukan searah dan linear. Sekarang, yang menjadi
pertanyaan, mengapa waktu berjalan searah dan linear? Mengapa waktu tidak dapat
melompat logaritmis dengan perbandingan logaritma perpangkatan matematika?
Mengapa pula waktu hanya berjalan searah lurus ke depan, bukan lurus ke
depan-depan lainnya—dengan perspektif segala arah itu? Apakah tidak mungkin
bahwa masa lalu itu ternyata tidak hilang sama sekali, dan masa depan ternyata
sudah ada dan kita bisa saja memasukinya? Apakah tidak mungkin juga, kalau
tiba-tiba kita melompat, kita memelintir waktu, melompatinya: skip, atau
mengabaikan sebagiannya?
Waktu itu apa?
Data soal waktu selalu ada di
depan mata, setiap hari kita selalu dibelenggu waktu dan ruang. Bangun tidur
jam setengah lima, shalat subuh, tidur lagi, bangun jam delapan lanjut kerja
sampai sore, bercengkerama sampai malam, tidur, dan mengulangi hari berikutnya.
Seperti itu. Selalu begitu. Selain data nyata seperti itu, ada pula data aneh
bin ajaib yang tidak bisa diabaikan begitu saja, yang sempat muncul beberapa
bulan lalu, yang sempat viral dalam wujud gambar/foto tentang kemunculan orang
masa kini di gambar/foto tempo dulu.
Dalam tuturan sejarah keislaman,
saya pernah mendengar kisah bahwa ternyata bukan hanya Nabi Musa yang pernah
bertemu Nabi Khidir. Ada banyak orang yang pernah bertemu atau ditemui olehnya,
termasuk di antaranya, saya pernah membaca, Syekh Abdul Qadir al Jailani. Ini
menjadi bahan pemikiran saya yang tidak selesai-selesai. Belum lagi derasnya
kabar dari banyak lisan bahwa Nabi Khidir masih hidup.
Fyuh!
Mungkin memang keabadian itulah
yang menjadikannya mampu menemui siapa saja yang dimauinya. Tapi apakah
keabadian hidup Nabi Khidir, dan teleportasi orang masa kini yang terpotret
pada frame zaman dulu itu, memang berkaitan dengan waktu?
Pikiran saya merangkaikan begini:
Jika waktu itu sifatnya sama
seperti alam semesta yang logaritmis dan ke segala arah, maka mestinya waktu
memang bisa bergerak ke belakang, ke samping, ke atas, ke bawah, atau ke mana
saja—yang meskipun dari sudut pandang sang waktu itu, tetap saja mengarah ke
depan. Waktu juga mestinya dapat melompat logaritmis sesuai perpangkatan dalam
matematika.
Pertama, berkaitan dengan
keabadian Nabi Khidir, saya mengumpamakan waktu dan ruang itu dikendalikan oleh
sesuatu seperti trimpot atau potensio. Dan siapakah yang dapat memutar-mutar
trimpot atau potensio itu? Tentu yang tidak terbelenggu oleh waktu dan ruang
itu. Jadi, otomatis bukan kita. Trimpot satu untuk mengatur waktu maju atau
mundur, dan trimpot dua untuk mengatur ruang kanan, kiri, depan, belakang,
atas, dan bawah.
Saya membayangkan, Nabi Khidir
dengan keistimewaannya tidak terbelenggu ruang dan waktu, sehingga dapat
memutar/mengatur trimpot satu, atau trimpot dua, atau dua-duanya sekaligus
dengan perhitungan yang presisi sehingga tepat menuju koordinat waktu dan ruang
yang dikehendakinya. Dengan teknik demikian, orang tidak akan dapat
menyimpulkan Nabi Khidir telah mati. Sebab sebelum Nabi Khidir benar-benar
mati, dia mampu melakukan itu semua, yang menjadikan kita mau tidak mau,
mengakui keabadiannya.
Kedua, berkaitan dengan
teleportasi, waktu yang bergerak logaritmis itu, memungkinkan penjelajahnya
melompati jarak-jarak waktu sesuai dengan ukuran realitas waktu tersebut, juga
sesuai dengan ukuran realitas pusat waktu. Saya mengumpamakan waktu seperti jaring-jaring
yang di dalamnya memiliki pusat, dan pusatnya lagi memiliki pusat, di pusatnya
lagi memiliki pusat, dan seterusnya. Tak terhingga!
Kita boleh jadi ada di realitas
jaring-jaring waktu inti terdalam. Tetapi ternyata masih banyak realitas waktu di
luar jaring-jaring ini, yang justru lebih besar daripada apa yang dapat kita
bayangkan.
Ini pula, boleh jadi berkaitan
dengan deja vu, yang berupa perasaan pengalaman yang sama, atau perasaan
seperti pernah mengalami, atau perasaan tidak asing pada suatu pengalaman,
merupakan wujud dari lompatan waktu yang logaritmis itu. Deja vu adalah
lompatan kita menuju masa yang pernah kita lewati sendiri, atau pernah teman
kita lewati yang kebetulan kita ada di sana, untuk kemudian sesaat saja
langsung kembali ke masa kini yang sebenarnya.
Bagaimana cara melakukannya?
Bagaimana perhitungan dan rumus “relativitas realitasnya”? Bagaimana cara
trimpot-trimpot itu diatur, dan bagaimana pula kita melompati jaring-jaring
realitas waktu menuju realitas lain?
Biar saja itu jadi bagiannya
saintis, matematikawan, atau fisikawan. Sains saya hanya dibentuk di STM, hanya
membahas percepatan gravitasi, gaya elektromagnetik, induktansi, kapasitansi,
dan yang seperti itu. Saya lebih banyak menikmati sastra, musik, film, puisi, dan
jangan pula diabaikan, film kartun. Tentunya, jangan alpakan mendoan. Fyuh!
Dengan paparan rumit tapi makjleb
demikian, saya lantas meyakini untuk diri saya sendiri, bahwa memang selalu dan
senantiasa ada hal-hal yang tidak mampu dijelaskan. Saya meyakini bahwa tidak
mustahil waktu dapat dimundurkan, digeser ke ruang Fir’aun dan Musa, digeser ke
kamar gas Holocaust, dimajukan ke abad 25 Masehi, ke dunia yang tidak lagi
dihuni oleh manusia saja, lalu digeser ke tempat di seberang kutub—yang
ternyata ada tempat yang belum pernah diketahui sebelumnya, dan sebagainya, dan
sebagainya.
Apa lagi yang tidak mungkin?
Saya dapat meyakininya seperti
yakinnya Nobita terhadap kantong ajaib Doraemon, seperti yakinnya Son Goku
bahwa kalau mati harus ke Planet Kaio agar dapat hidup lagi, seperti yakinnya
mereka pada ketidakmungkinan, yang ternyata, boleh jadi memang mungkin, seperti
yakinnya saya bahwa jomblo akan berlalu meski entah kapan.
Wallahu a’lam.
Purwokerto, 8-10 September 2016
Keterangan:
*Sudah tayang di laman
basabasi.co pada 6 Oktober 2016.
*Sumber gambar: unsplash.com.