Sains, Problem Mengada, dan Hal Terdalam Lainnya




Akan tetapi, setelah saya pikirkan lebih mendalam, ternyata bahasa yang sebelumnya saya yakini adalah bebunyian, tidaklah sepenuhnya seperti itu. Bahasa yang awalnya saya yakini sebagai bunyi, nyatanya adalah bentuk pelisanan dari bahasa tertinggi, yang merupakan capaian makna-makna terdalam. Kita senantiasa menyimpan makna, dan selalu berusaha menyampaikan makna tersebut kepada lawan bicara melalui bahasa. Ada masanya kita menggunakan bunyi, ada masanya pula kita menggunakan tulisan.Jauh sebelum saya membaca buku ini, saya sudah membayangkan bahwa dalam bahasa, tulisan hanyalah simbolisasi dari lisan. Tepatnya, bahasa tulis hanyalah untuk menyimbolkan bebunyian yang merupakan bentuk asli dari bahasa. Tentu, hal tersebut ternyata tidak mampu menampung keseluruhan maksud dari bunyi, yang merupakan bentuk asli dari bahasa. Terbukti, banyak bahasa—yang dalam hal ini adalah bunyi—yang ternyata tidak mampu dituliskan, seperti suara burung prenjak ataupun kolibri yang biasa orang-orang dengar. Entah itu karena bunyi tersebut memang tidak bisa dituliskan, atau malah karena belum ada bentuk tulisan yang mengakomodir bunyi beburungan tersebut. Begitu pun termasuk bunyi siulan yang biasa orang keluarkan, yang ternyata tidak mampu dituliskan, yang padahal siulan pun bagian dari bahasa. Bukankah siulan bisa bermakna memanggil, menggoda, atau juga sekadar senandung?

Sehingga, saya pun akhirnya memahami bahwa tulisan hanyalah bentuk simbolisasi bebunyian, yang tentu tidak mampu menampung seluruh bebunyian tersebut. Dan, bebunyian pun sebenarnya hanyalah simbolisasi dari makna-makna terdalam yang mestinya dicapai, yang tentu tidak mampu menampung “makna” secara sempurna dalam suatu bunyi. Selalu ada kecacatan di sana-sini, entah itu pada tulisan ataupun pada bunyi yang selama ini kita yakini.

Tapi pemahaman ini saya endapkan jauh sebelum saya membaca buku yang berjudul Kebenaran yang Terlupakan ini.

Hal yang menurut saya menarik dari buku ini adalah penyingkapannya. Saya menyebutnya sebagai penyingkapan, karena memang selama ini hal-hal yang seperti ini—yaitu, sesuatu yang selama ini tidak kita pedulikan—ternyata justru merupakan suatu kebenaran, yang telah jauh tertutup oleh sains, ataupun rasionalitas yang selama ini kita berhalakan.

Kita senantiasa menganggap sesuatu yang ada hanya jika sesuatu itu mampu dicerap oleh indra kita saja. Kita menganggap sesuatu memang ada jika sesuatu tersebut mampu kita lihat secara sempurna, mampu kita raba atau sentuh. Lebih jauh kita menganggap sesuatu itu ada hanya jika mampu dibuktikan secara empiris, seperti melalui pengukuran dan pengujian ilmiah matematis-kuantitatif. Padahal, di sisi lain, kita pun meyakini keberadaan cinta, misal, atau rindu, tenang, gelisah, senang, yang sebenarnya hal-hal tersebut tidak mampu dicerap oleh indra secara sempurna, dan bahkan tidak mampu diukur dan diuji secara empiris.

Tentu, sebagaimana dalam bahasa, yang saya yakini sebelumnya bahwa tulisan hanya sebentuk simbolisasi dari bunyi bahasa yang tidak mampu menampung keseluruhan bunyi, dan bunyi bahasa pun hanya sebentuk simbolisasi makna bahasa yang juga tidak mampu menampung keseluruhan makna-makna bahasa yang mestinya dicapai, begitu pun dalam sains. Sains yang selama ini kita anggap sebagai jawaban atas segala sesuatu, ternyata hanyalah sebentuk “alat” atau mungkin “simbolisasi” pula dari jawaban sebenarnya tentang segala sesuatu, yang tentu berarti bahwa sains tidaklah mampu menampung keseluruhan itemdari segala sesuatu. Selalu ada yang luput dari capaian sains. Termasuk bagaimana segala sesuatu itu ada, mengada, being. Hal ini dikupas tuntas pada bab pertama buku ini.

Saya masih terbayang pada materi sekolah saya dahulu, yang menjelaskan tentang dimensi-dimensi, yang ujungnya bahwa dimensi itu tidak hanya satu, dua, ataupun tiga, tetapi sangat melimpah dan digambarkan sampai “Dimensin”, atau dibaca sebagai “dimensi pangkat n”, yang “n” di sini tentu bisa berupa empat, lima, enam, atau tiga puluh sekalipun. Artinya, dalam segala keterbatasan yang kita miliki, yang hanya meyakini bahwa kita selalu terkurung di dalam dimensi yang seperti ini, dijabarkan habis-habisan dalam bab kedua. Hingga seterusnya, tentang tingkatan realitas, yang meliputi wilayah terrestial, antara, dan celestial, yang dalam hal ini “keberadaan kasar” kita berada pada terrestial, tempat segala sesuatu tampak seperti yang kita ketahui sekarang. Dan, sains, sebenarnya hanyalah menjawab hal-hal yang berada pada terrestial ini. Sains alpa pada hal-hal antara dan celestial. Kebenaran tentang hal tersebutlah yang coba disingkap dalam buku ini.

Bukan hanya membahas tentang bagaimana segala sesuatu mengada, sains yang ternyata tidak mampu menjawab segala sesuatu—bahkan sains justru mereduksinya—mengada, atau tentang tingkatan realitas yang ternyata jauh di luar bayangan kita sebelumnya. Buku ini pun mengupas tentang tingkatan kedirian, yang antara lain ialah tubuh, kemudian pikiran, kemudian jiwa, dan yang terdalam adalah roh. Sains tentu sangat ahli untuk menjawab hal-hal yang berkaitan dengan tubuh, dan beberapa hal yang berkaitan dengan pikiran dan jiwa, tapi akan keteteran jika akan menjawab segala yang berkaitan dengan roh. Sebab, roh terkesan sangat mistik dan jauh dari rasionalitas yang selama ini kita berhalakan bersama dengan keilmiahan sains itu sendiri.

Sampai pertengahan buku, saya menyangka bahwa buku ini akan membantai sains habis-habisan. Ternyata tidak begitu juga. Buku ini hanya mencoba menempatkan segala sesuatu pada tempat yang semestinya. Bahwa ada kesamaan antara sains dan tradisi—sebutlah demikian—yang membuat kita memandang sains ataupun tradisi secara fair, antara lain bahwa segala sesuatu bukanlah seperti apa yang terlihat, yang-lain-dari-yang-kelihatan adalah “sesuatu yang lebih” dan luar biasa, “yang lebih” tidak bisa diketahui dengan cara-cara biasa, “yang lebih” hanya bisa diketahui dengan cara-cara tertentu dan cocok dengannya yang tentu memerlukan latihan dan penerapan, dan akhirnya bahwa pengetahuan ini—sains ataupun tradisi—memerlukan instrumen-instrumen, yang memaksa kita untuk bijak menempatkan sesuatu, termasuk sains pada posisinya sendiri. Alih-alih membantai pemberhalaan sains, buku ini hanyalah upaya menyingkap kesadaran kita tentang kebenaran yang selama ini kita lupakan. Sehingga, sangat perlu bagi kita untuk membaca buku ini!

Bantul, 11 Juni 2017

*Sudah tayang di laman basabasi.co pada 19 Agustus 2016.


Copyright © Nurrohman. Designed by OddThemes