Iman itu dinamis, begitu kata orang-orang, yang
jika dipikirkan lebih mendalam sebenarnya bukanlah sekadar berlaku pada
keimanan itu. Maksudnya, jika iman yang kita miliki memang tidak pernah tetap,
tentu ketidaktetapan itu dapat pula berlaku pada hal selain iman. Kita kerap
menjumpai hal-hal yang berubah dalam waktu cepat, sebagaimana yang terjadi pada
sinyal kelistrikan AC (alternative current).
Jika kita pernah mempelajari, atau minimalnya
pernah mendengar tentang arus listrik dari PLN itu, bentuk sinyalnya sebenarnya
adalah berupa kurva sinus yang naik turun dari 0, kemudian naik ke plus 220,
kemudian turun lagi ke 0 hingga turun ke minus 220, lalu naik ke 0 hingga ke
plus 220. Begitu seterusnya. Dan, itu pun tidak stabil pada angka 220. Sebab
angka 220 yang selama ini kita kenal bukan tegangan peak-to-peak
(puncak plus ke puncak minus), tapi cumalah tengangan efektifnya saja.
Begitu pula yang terjadi pada suara, sound,
atau musik. Sinyal kelistrikan yang dihasilkan dari gitar, bass, piano, violin,
vokal, dan bahkan drum-perkusi pun berbentuk kurva sinus sebagaimana listrik
dari PLN itu. Hanya saja, jika PLN itu tegangannya sampai 220 volt dengan
frekuensi 50 Hertz saja, tegangan suara tidak sampai sebegitunya, meski dengan
frekuensi yang bisa mencapai berkilo-kilo Hertz. Dan, kombinasi tegangan dan
frekuensi itulah yang memengaruhi, apakah arus itu bertenaga menhujnam tubuh
ketika tersetrum ataukah tidak.
Kaitannya dengan kedinamisan iman, pernah suatu
ketika seseorang menjelaskan bahwa perihal keimanan yang dinamis itu, pun
berlaku pada kehidupan, kematian, dan bahkan soal perjodohan. Dalam kehidupan-kematian,
misalnya, manusia akan menjumpai dalam dirinya keadaan hidup dan mati secara
bergantian, atau pula keadaan yang tidak terlalu hidup dan tidak terlalu mati.
Sesuatu yang menjadikan seseorang itu benar-benar
hidup ada dua, yaitu harapan dan makna. Siapa pun yang mempunyai harapan, apa
pun itu, akan merasakan dirinya begitu hidup guna mencapai yang diharapkan itu.
Begitu pula, siapa pun yang menemukan makna dari kehidupannya, akan menjalani
hidup dengan sebenar-benarnya hidup pula. Tapi, bandingkan dengan kehidupan
orang yang kehilangan harapan dan tak menemukan makna apa pun. Tentu akan
berbeda.
Maka, kita tentu pernah mengalami dalam hidup
kondisi yang demikian. Yaitu, suatu titik yang menjadikan kita amatlah hidup,
dan suatu titik lain yang menjadikan kita berasa mati tak berdaya. Dalam serial
Mahabharata, ketika dikisahkan bahwa Drupadi ditelanjangi di ruang istana yang
di sana ada Dewabrata Bisma, diamnya Bisma sebenarnya menunjukkan bahwa dia
sudah mati. Makna kehadirannya di tempat itu sudah tiada, meski harapan untuk
mencegah peristiwa itu mungkin ada. Dan, sebagaimana listrik yang kehilangan
salah satu dari penyusunnya akan menjadikannya mati (entah itu tegangan, arus,
atau bahkan frekuensi), hidup pun demikian, kehilangan makna atau harapan pun,
dapat menjadikannya mati pula.
Maka, sebenarnya problem mati dan hidup bukanlah
hal yang begitu mengerikan. Setiap saat kita mati dan hidup secara bergantian
dalam frekuensi yang tidak beraturan. Sebagaimana frekuensi lampu kamar yang
sebenarnya berkedip-kedip antara hidup dan mati sebanyak 50 kali per detik (50
Hertz), sebagaimana musik yang sebenarnya tersendat-sendat antara bunyi dan
redam sebanyak hingga ribuan kali per detik (Kilo Hertz), tetapi kita tetap
menganggap lampu itu nyala dan musik itu bunyi. Yang benar adalah, di dalam
hidup lampu itu, ia mengalami mati 50 kali tiap detiknya, dan di dalam bunyi
musik itu, ia mengalami mati ribuan kali tiap detiknya.
Lalu, soal kelahiran dan kematian itu?
Kelahiran bayi dan kematian manusia sehingga dikuburkan sebenarnya adalah bagian dari
kedinamisan hidup dalam skala besar. Yang dalam satu siklus besar itu, kita
mengalami jutaan siklus hidup-mati kecil, yang dialami hampir setiap hari
tergantung kadar harapan dan makna yang kita miliki.
Maka, sebenarnya begitu juga dalam hal jodoh.
Pernikahan sebenarnya hanyalah satu siklus besar tentang perjodohan itu, bahwa
setiap makhluk itu diciptakan berpasangan. Meskipun, konsep berpasangan itu pun
berkaitan dengan budaya, yang kebetulan budaya manusia itu selalu membuktikan
keberpasangan ialah dengan menikah, bukan yang lain.
Sebagaimana kelistrikan dan kehidupan yang dalam
satu siklus besar ternyata memuat ribuan siklus-siklus kecil, yang juga di
dalamnya berarti mengandung kedinamisan yang tidak bisa dipisahkan, perihal
jodoh pun demikian. Sehingga, jika jodoh itu disusun atas kasih sayang dan
kecocokan, maka kedinamisan itu pun ada sebab rasa kasih sayang dan cocok yang
juga dinamis.
Ketika orang akan menikah, tentulah pasangan itu
berjodoh, dengan kadar kasih sayang dan cocok yang penuh—katakanlah demikian.
Namun, seiring berjalannya waktu, kejodohan itu pun akan menurun, kemudian naik
lagi, kemudian menurun lagi, atau bahkan menghilang, dan begitu seterusnya.
Hingga, beberapa pertanyaan yang kerap datang itu, yaitu “apakah yang poligami
itu jodohnya banyak?” atau “apakah yang menyudahi pernikahan berarti masa
jodohnya habis?” dapat dijawab dengan gampang. Yaitu, benar bahwa pada titik
itu, seorang yang poligami itu jodohnya berarti banyak, tapi hanya pada titik
itu, entah besok-lusanya. Dan, benar
pula bahwa yang menyudahi pernikahan itu masa jodohnya telah habis, entah
keesokan harinya akankah terisi lagi sehingga bisa kembali rujuk.
Maka, dalam siklus hidup sebenarnya, setiap
perjumpaan yang di dalamnya ada kasih sayang dan kecocokan, dapat pula kita
pahami sebagai jodoh. Ketika manusia memiliki kendaraan yang amat disayangi,
misal, dan cocok dengannya, maka itu pun jodoh. Begitu pun dalam pekerjaan,
yang jika pekerjaan itu amat sesuai dengannya dan mencintainya, maka itu pun
jodoh. Dan, kendaraan dan pekerjaan itu bukan berarti akan jadi jodoh
selamanya. Ada naik dan turun sebagaimana iman yang juga naik-turun. Dan itu
merupakan suatu keniscayaan. Mana mungkin kita bisa menolaknya, wong
kita punya qalbun, kok, yang sifatnya memang demikian.
Persoalannya adalah, dalam kedinamisan itu, dalam
naik-turunnya iman, hidup, bahkan jodoh, pilihan kita selanjutnyalah yang
sebenarnya menjadi kunci. Yaitu, ketika hal-hal tersebut sedang surut, apa yang
kita perbuat? Atau, dalam menjangkau hal-hal tersebut agar tetap pasang,
akankah kita akan membuka diri pada siklus-siklus kecil di luar diri kita?
Sebagaimana ungkapan “terus mencari jalan pulang,
atau memutuskan inilah kepulangan”, akankah kita juga akan memutuskan inilah
kehidupan tanpa terus melulu mencari hidup yang bagaimana-bagaimana, dan juga
memutuskan inilah kejodohan tanpa terus melulu mencari jodoh yang
bagaimana-bagaimana? Sebab, bukankah mendasarkan hal-hal yang demikian pada
suatu kepastian yang mutlak adalah yang mustahil mengingat hal itu memang tidak
pasti?
*sumber
gambar: unsplash.com