Kalau
saya harus pandai dulu biar diterima sekolah, sampai kapanpun saya tidak akan diterima
sekolah
Pendidikan
harus mengubah sistem seleksi penerimaannya;
Yang
bodoh diterima, yang pandai boleh tidak diterima
Pendidikan
pun harus mengubah sistem peringkatnya;
Berdasar
peningkatannya, bukan berdasar tingkatnya
Kalau
saya harus menjadi ahli matematika dulu baru dibilang pandai, sampai kapanpun
saya tidak akan pandai
Pendidikan
harus mengubah cara pandangnya;
Ada
banyak kepandaian, matematika hanya salah satunya
Pendidikan
pun harus mengubah penghargaannya;
Menghargai
kepandaian lainnya, seperti penghargaan pada matematika
Lalu
kalau saya harus tidak pernah salah biar dikasih jempol, sampai kapanpun saya
tidak akan dijempoli
Pendidikan
harus mengubah penyampaiannya;
Benar
dan salah itu biasa—tidak ada yang salah dengan salah, juga tidak begitu benar
dengan benar
Pendidikan
pun harus mengubah pembangunan persepsinya;
Benar
dan salah bukan ekslusif—keduanya inklusif, bertautan
Berani
karena benar, takut karena salah, sudah tidak revelan buat saya
Karena
bukankah kebenaran mungkin didapat setelah melalui beberapa kesalahan?
Saya
pun ingin bertanya kepada pakar pendidikan;
Bukankah
saya yang bodoh, tidak ahli matematika, dan selalu salah pun punya hak
pendidikan dan masa depan yang sama?
Lalu
mana?
/2/ Sanggah, 2
Pendidikan
bukan sekolah, meski sekolah mungkin pendidikan
Pendidikan
adalah sekolah, meski sekolah mungkin pembodohan
Dulu
saya pandai menggambar, berkhayal dan imaji—meski kepandaian menggambar,
berkhayal dan imaji belum diakui jadi kepandaian
Sekarang
khayalan saya dibelenggu logika eksakta, dan grafik kemungkinan statistika
Dulu
saya pikir menghilang itu bisa
Sekarang
saya pikir menghilang seperti Son Goku itu mustahil
Entah
saya semakin pandai, atau semakin bodoh
Sekolah
harus menjawabnya
Pendidikan
bukan pengajaran, meski pengajaran mungkin pendidikan
Pendidikan
adalah pengajaran, meski pengajaran mungkin pula pembatasan
Ayah
mengajari saya bahwa berkata harus mempertimbangkan orang yang mendengarkan
kata;
Sehingga
saya harus mengenal batas-batas diri, batas oranglain pula
Ayah
pun mengajari saya bahwa berkata harus menjunjung kejujuran diri;
Sehingga
saya harus berkata jujur apa adanya kepada orang yang mendengarkan kata
Tapi
bukankah pengajaran seperti itu berarti paradoks?;
Saya
harus jujur tapi juga harus berbohong—harus apa adanya tapi juga harus
menenangkan oranglain
Entah
saya semakin berajar, atau semakin kurangajar
Ayah
harus menjawabnya
Atau
mungkin pendidikan, hanyalah topeng legal-formal?;
yang
legallah yang berpendidikan
yang
ilegallah yang tidak akan berpendidikan
Lalu
saya harus kemana jika tidak sekolah, dan dihadapkan pada pengajaran yang
paradoks?
Purwokerto,
11 Januari 2017