Sajak Sanggah



/1/ Sanggah, 1
Kalau saya harus pandai dulu biar diterima sekolah, sampai kapanpun saya tidak akan diterima sekolah
Pendidikan harus mengubah sistem seleksi penerimaannya;
Yang bodoh diterima, yang pandai boleh tidak diterima
Pendidikan pun harus mengubah sistem peringkatnya;
Berdasar peningkatannya, bukan berdasar tingkatnya

Kalau saya harus menjadi ahli matematika dulu baru dibilang pandai, sampai kapanpun saya tidak akan pandai
Pendidikan harus mengubah cara pandangnya;
Ada banyak kepandaian, matematika hanya salah satunya
Pendidikan pun harus mengubah penghargaannya;
Menghargai kepandaian lainnya, seperti penghargaan pada matematika

Lalu kalau saya harus tidak pernah salah biar dikasih jempol, sampai kapanpun saya tidak akan dijempoli
Pendidikan harus mengubah penyampaiannya;
Benar dan salah itu biasa—tidak ada yang salah dengan salah, juga tidak begitu benar dengan benar
Pendidikan pun harus mengubah pembangunan persepsinya;
Benar dan salah bukan ekslusif—keduanya inklusif, bertautan

Berani karena benar, takut karena salah, sudah tidak revelan buat saya
Karena bukankah kebenaran mungkin didapat setelah melalui beberapa kesalahan?

Saya pun ingin bertanya kepada pakar pendidikan;
Bukankah saya yang bodoh, tidak ahli matematika, dan selalu salah pun punya hak pendidikan dan masa depan yang sama?
Lalu mana?

/2/ Sanggah, 2
Pendidikan bukan sekolah, meski sekolah mungkin pendidikan
Pendidikan adalah sekolah, meski sekolah mungkin pembodohan
Dulu saya pandai menggambar, berkhayal dan imaji—meski kepandaian menggambar, berkhayal dan imaji belum diakui jadi kepandaian
Sekarang khayalan saya dibelenggu logika eksakta, dan grafik kemungkinan statistika
Dulu saya pikir menghilang itu bisa
Sekarang saya pikir menghilang seperti Son Goku itu mustahil
Entah saya semakin pandai, atau semakin bodoh
Sekolah harus menjawabnya

Pendidikan bukan pengajaran, meski pengajaran mungkin pendidikan
Pendidikan adalah pengajaran, meski pengajaran mungkin pula pembatasan
Ayah mengajari saya bahwa berkata harus mempertimbangkan orang yang mendengarkan kata;
Sehingga saya harus mengenal batas-batas diri, batas oranglain pula
Ayah pun mengajari saya bahwa berkata harus menjunjung kejujuran diri;
Sehingga saya harus berkata jujur apa adanya kepada orang yang mendengarkan kata
Tapi bukankah pengajaran seperti itu berarti paradoks?;
Saya harus jujur tapi juga harus berbohong—harus apa adanya tapi juga harus menenangkan oranglain
Entah saya semakin berajar, atau semakin kurangajar
Ayah harus menjawabnya

Atau mungkin pendidikan, hanyalah topeng legal-formal?;
yang legallah yang berpendidikan
yang ilegallah yang tidak akan berpendidikan

Lalu saya harus kemana jika tidak sekolah, dan dihadapkan pada pengajaran yang paradoks?

Purwokerto, 11 Januari 2017
Copyright © Nurrohman. Designed by OddThemes