Memercayai Ketidaktahuan dan Ketidakmungkinan




Apa yang akan kita lakukan ketika ada hal yang sebenarnya telah kita alami, ternyata ia sama sekali tak dapat kita ingat lagi? Pilihannya tentu tidak akan banyak: di antaranya ialah memercayai cerita dari orang lain yang mengetahui perihal pengalaman tersebut kepada kita, atau malah sama sekali menganggap bahwa cerita itu bohong belaka karena kita menganggap pengalaman tersebut memang tidak pernah ada.

Saya merasakan hal yang demikian. Ada satu pengalaman yang menurut istri saya pernah saya alami, tetapi bagaimanapun cara saya untuk mengingat pengalaman tersebut, ternyata selalu saja gagal. Saya tidak dapat mengingat bahwa sepeda motor yang saya tumpangi bersama istri ternyata menabrak sebuah mobil di jalan raya, yang kemudian saya pun dilarikan ke rumah sakit, kemudian dijahit di sana-sini, dan kemudian jadi tidak berdaya di atas pembaringan. Istri saya bilang bahwa itu semua memang terjadi, tetapi saya tetap tidak sanggup mengingatnya kecuali dua hal: menghidupkan sepeda motor ketika akan berangkat dan bangun tidur di rumah dengan dagu yang sudah dijahit. Sesingkat itu saja. 

Pengalaman tersebut tentu hanya satu contoh, yang itu artinya jika saya jeli, sebenarnya akan banyak ditemukan contoh lain yang serupa. Persoalannya kemudian, apakah untuk menjumpai hal-hal yang demikian, yaitu mengetahui ketidaktahuan perihal kita sendiri, mengharuskan kita mengalami “benturan” sebagaimana yang saya alami itu? Ternyata saja tidak, asalkan ada yang menjadikan kita menyadari hal yang demikian, itu sudah cukup. Tapi pertanyaannya, hal apakah yang bisa menjadikan kita sadar?

Yu`minūna bil Ghaib
Orang muslim tentu paham betul pada ayat yang menerangkan bahwa yang beriman ialah yang percaya kepada yang gaib. Memaknai yang gaib itu sebagai keyakinan perihal adanya jin sebagai sesama makhluk Tuhan, tentu bukanlah suatu hal yang salah. Namun, apakah hanya sebatas itu? Apakah gaib dan apakah non-gaib itu sebenarnya? Apakah kita ini non-gaib sedangkan jin itu gaib? Tidak mungkinkah bahwa jin pun bertutur “aku ini non-gaib sedangkan kamu, hai manusia, ialah gaib”? Atau, apakah tidak begitu, melainkan kita semua—manusia dan jin—ini gaib sedangkan Tuhan-lah yang nyata? Bukankah, Tuhan—dan hanya Dia—itulah yang wujud?

Akan tetapi, sebelum menjawab itu semua, marilah kita sejenak melihat kembali pada ilmu dan pengetahuan yang kerap kita banggakan. Pertama, apakah semua yang kita ketahui itu memang benar adanya? Tentu saja tidak, karena selalu saja ada hal-hal yang kita ketahui itu keliru, bahkan malah salah total. Kedua, apakah pengetahuan itu hanyalah persoalan yang kita ketahui semata? Tidak mungkinkah ketidaktahuan pun merupakan pengetahuan juga? Mungkin saja iya, karena sebagaimana yang saya alami di atas, saya ternyata baru mengetahui ketidaktahuan yang saya punyai itu, setelah istri menceritakan pengalaman tersebut kepada saya. Tentunya itu menandakan satu hal, yaitu ketidaktahuan yang diketahui ternyata merupakan pengetahuan juga.

Selain hal tersebut, kita pun bisa mengamati bahwa orang-orang kerap menjumpai banyak ketidaktahuan setelah mendalami suatu bidang. Maksudnya, seandainya kita harus bertanya kepada diri sendiri perihal ketidaktahuan kita pada suatu hal dan ketika itu kita tidak mengetahui apa-apa, tentu ketidaktahuan yang akan kita temukan tidak sebanyak ketika kita sudah mendalami pengetahuan perihal suatu bidang tersebut. Itu artinya apa? Jelas sekali untuk menemukan ketidaktahuan yang ada pada diri kita pun diperlukan suatu pengetahuan pula.

Bukankah dalam perkuliahan atau seminar pun, yang banyak bertanya—sebutlah karena ketidaktahuan—ialah orang-orang yang ternyata telah mempelajari bidang tersebut secara mendalam ketimbang yang sama sekali tak mengetahui apa-apa?

Maka, jangan-jangan perihal gaib dan non-gaib pun demikian adanya. Yaitu, begitu banyak hal yang kita tidak ketahui. Dan, sudah begitu pun, untuk sampai pada keyakinan bahwa ada hal-hal yang gaib dalam hidup kita (sebutlah itu ketidaktahuan dan ketidakmungkinan perihal masa depan dan lainnya) pun kita diharuskan untuk mendalami hal-hal yang non-gaib itu—sebutlah itu pengetahuan dan kemungkinan.

Lalu pertanyaannya, jika sudah demikian, apa yang mesti kita lakukan?

Keterbatasan dan Ketidakmungkinan
Beranggapan bahwa di seberang gunung tidak ada apa-apanya hanya karena kita tak mampu melihat ke seberang gunung itu, merupakan suatu hal yang keliru. Anggapan yang demikian hanya terjadi jika kita memang abai pada kenyataan bahwa ada begitu banyak keterbatasan pada diri kita. Itu artinya apa? Artinya, sejauh apa pun kemampuan indra penglihatan kita untuk melihat sekitar, ia akan tetap sampai pada ujung batasannya sendiri. Dan, apa pun yang berada di seberang dari batasan itu pun, kemudian menjadi suatu hal yang gaib bagi penglihatan kita—sebutlah demikian, karena kita memang melihatnya.

Mari kita tarik analogi yang demikian pada indra kita yang lain, yakni akal. Yaitu, apakah hal-hal yang tak mampu dijangkau oleh akal kita adalah suatu hal yang pasti tidak ada? Tidak pernahkah kita berpikir bahwa hal-hal yang tidak mampu dijangkau akal ialah karena ia berada di seberang batasan akal itu sendiri, sebagaimana mata yang juga terbatas untuk melihat ke seberang gunung?

Artinya ialah, pilihan untuk memercayai keberadaan hal-hal di seberang batasan akal dan penglihatan itu—juga pada keterbatasan indra lainnya—merupakan pilihan satu-satunya untuk kita. Sebab, menolak keberadaan hal-hal di seberang batasan justru menunjukkan keculasan kita, kan? Dan, ini tentu hanya bisa dicapai jika kita punya kesadaran penuh perihal keterbatasan kita, selain juga diimbangi dengan kemauan untuk menerima ketidaktahuan dan ketidakmungkinan yang ternyata ada dan juga mungkin.

Penutup
Akhirnya kemudian, ketidaktahuan kita perihal masa depan apakah akan dikaruniai rezeki yang berkelimpahan ataukah berkekurangan, perihal kesehatan apakah akan mengalami kecelakaan tertabrak mobil di jalan raya ataukah selalu selamat sentosa, juga perihal jodoh dan kebahagiaan apakah akan memiliki sejumlah uang untuk kelak melangsungkan pernikahan ataukah tidak, merupakan hal-hal yang ujungnya mestilah kita percayai seluruh kemungkinan dan ketidakmungkinannya.

Maksudnya ialah, kemungkinan bahwa ketidakmungkinan yang kita pikirkan untuk mencapai masa depan yang baik tersebut benar adanya, memang iya. Namun, bukankah memercayai kemungkinan bahwa kita tidak akan menjumpai masa depan yang buruk pun lebih baik ketimbang hanya berkutat pada ketakutan yang itu-itu saja?

Terakhir, apa yang bisa menjadikan kita memercayai ketidaktahuan dan ketidakmungkinan itu? Sebagai muslim tentu jawaban yang keluar ialah entitas yang tidak terbatas dan tidak terjangkau—karena untuk membereskan berbagai persoalan yang menyelimuti kita tersebut, jelas membutuhkan suatu kekuatan yang adikodrati seperti itu. Entitas itu adalah Tuhan, dan sebagaimana ayat-Nya itu, semoga kita memang beriman pada yang gaib.

*sumber gambar: unsplash.com  

Copyright © Nurrohman. Designed by OddThemes